BAB
I
PENDAHULUAN
Hukum
acara atau hukum formal merupakan peraturan hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum. Begitu juga dengan Peradilan
Islam. Peradilan Islam merupakan peraturan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan negara dan juga dari peraturan syariat Islam.
Hukum
acara Peradilan Islam merupakan peraturan hukum yang bersifat
mengatur cara orang bertidak di muka hukum, misalnya dalam Pengadilan Agama.
Hukum acara Peradilan Islam bersifat mengatur bagaimana cara Pengadilan
Agama tersebut dapat menyelesaikan suatu perkara dengan secara adil
sehingga masing-masing orang mendapatkan perlakuan yang adil dan
benar di mata hukum dalam penyelesaian suatu perkara.
Berbicara
mengenai hukum acara Peradilan Islam, maka sistem pelaksanaan hukum acara
tersebut harus sesuai dengan syari’at. Untuk dapat melaksanakan hukum tersebut,
maka dibutuhkan asas dan landasan hukumnya. Dengan demikian, asas hukum acara Peradilan
Islam dapat mengatur tentang pelaksanaan hukum acara agar dapat di temukan
suatu putusan hukum yang mencerminkan keadilan serta
kepastian hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Peradilan
Agama
“Peradilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang ini” (Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006).[1]
Peradilan Agama adalah sebutan resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan
Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Dalam hal ini, Peradilan
Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula
hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam
tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam. [2]
B.
Peradilan Islam pada
Masa Orde Baru
Peradilan
Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada tahun 1967. Ketika itu Soeharto diangkat
menjadi Presiden. Dengan demikian, Soeharto memberi nama pemerintahannya dengan
Orde Baru, yaitu suatu tatanan atau sistem yang secara murni dan konsekuen
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, untuk pemerintahan
sebelumnya yaitu masa Pemerintahan Soekarno diberi nama Orde Lama.
Pada mulanya secara kelembagaan Peradilan Agama
berada di bawah lingkup Departemen Agama. Setelah diundangkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Akhirnya Peradilan Agama dialihkan
ke dalam lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, Pengadilan Agama, baik
dari sisi kewenangan maupun kelembagaan diatur oleh sebuah peraturan
perundangan yang secara eksplisit merinci tentang pelayanan Peradilan yang
standar yang harus diberikan oleh lembaga Peradilan Agama tersebut.
Namun demikian, kewenangan yang dimiliki Peradilan
Agama ketika itu memang masih sangat terbatas.
Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi Peradilan Agama masih berkisar
penyelesaian masalah nikah, talaq, cerai dan rujuk (NTCR) saja. Oleh karena
itu, diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, merupakan kemajuan
yang luar biasa.
Sebuah perwujudan cita-cita yang sangat
didambakan oleh umat Islam di Indonesia pada umumnya serta Hakim Agama
khususnya, setelah melewati perjalanan sejarah yang amat panjang. Sebenarnya,
pembaharuan Peradilan Agama sudah dimulai sejak ditetapkan Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, namun ketika itu masih jauh dari harapan. Hal itu sangat tampak
terutama persoalan independensinya, mengingat UU No. 14 Tahun 1970 masih
menganut sistem dua atap (double roof system), seperti ditegaskan pada Pasal 11
ayat (1).
Masuknya pihak eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman
disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasaan kehakiman di negeri ini
tidak independen. Alasan itulah antara lain yang menyebabkan status dan
kedudukan Peradilan Agama belum bisa dikatakan sebagai Peradilan yang
independen, mandiri, dan kokoh, selama masa Orde Baru. Untuk memperbaiki
kondisi tersebut, pada tanggal 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU PA) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya RUU PA tersebut
disahkan menjadi UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.[12] Upaya tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perubahan sekaligus perbaikan
sistemPerubahan signifikan menyangkut kewenangan Peradilan Agama, secara
konstitusional diperoleh melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-undang tersebut bersifat diagnostic[20] atau dalam istilah lain UU
organik akibat adanya UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan KeHakiman.
Pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan keHakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang berAgama Islam mengenai perkara tertentu.” Memperhatikan
ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa dengan kewenangan tersebut
dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara pidana.[21]
Kemudian berdasarkan Pasal 49 UU No. 3 Tahun
2006, Peradilan Agama memperoleh kewenangan baru dalam bidang ekonomi syariah
yakni; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh, dan
ekonomi syari’ah. Kemudian materi yang merupakan penambahan kewenangan baru
tersebut adalah; zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah.
Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan
perkembangan hokum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim.
Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.”[23] Ehrlich juga menyatakan
bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola
kebudayaan (culture pattern).
Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologi
hukum, maka tidak mengherankan jika dewasa ini, Peradilan Agama mengalami
perluasan kewenangan mengingat “…harus ada kesinambungan yang simetris antara
perkembangan masyarakat dengan pengaturan hukum, agar tidak ada gap antara
persoalan dengan cara dan tempat penyelesaiannya.” Dalam arti, perkembangan
masyarakat yang meniscayakan munculnya permasalahan bias diselesaikan melalui
jalur hukum, tidak dengan cara main Hakim sendiri. Di samping itu, perluasan
kewenangan Peradilan Agama juga sesuai dengan teori three elements law system
Friedman, terutama tentang legal substance. Friedman menyatakan; legal substance adalah aturan, norma,
dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem. Substansi juga
berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan
baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), dan bukan hanya aturan yang
ada dalam kitab undang-undang atau law in
books.
Berdasarkan kajian teori tersebut di atas, maka
perluasan beberapa kewenangan Peradilan Agama merupakan sebuah keniscayaan,
mengingat semua yang menjadi wewenang Peradilan Agama, baik menyangkut tentang
perkawinan, waris, wakaf, zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah,
kesemuanya merupakan sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim.
Artinya, hukum Islam yang menjadi bagian dari
kewenangan Peradilan Agama selama ini telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh
masyarakat muslim di Indonesia. Bahkan semestinya, kewenangan Peradilan Agama
tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan tersebut, tetapi juga menyangkut
persoalan hukum Islam lainnya yang selama ini telah dipraktikkan oleh
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.[3]
Sepanjang hukum Islam itu hidup dan dipraktikkan
oleh masyarakat, sepanjang itu pula seharusnya kewenangannya dimiliki oleh Peradilan
Agama. Mengingat, keberadaan Peradilan Agama sebagai sebuah legal structure,
berbanding lurus dengan kewenangannya sebagai legal substance. Oleh sebab itu,
apabila legal structure-nya kuat tetapi legal substance-nya lemah, maka keadaan
semacam itu ibarat sebuah bangunan hampa yang tidak ada isinya.
Namun demikian, beberapa kewenangan yang selama
ini dimiliki oleh Peradilan Agama, ternyata dimiliki bukan hasil dari sebuah
perencanaan strategis dari para pengelola atau pihak yang berwenang, akan
tetapi lebih karena persoalan tersebut secara sosiologis telah dipraktikkan
oleh masyarakat. Hal ini seperti yang dijadikan alasan oleh anggota DPR ketika
mengesahkan kewenangan ekonomi syariah dalam UU No. 3 Tahun 2006, dimana
pertimbangan utamanya adalah “...bahwa ekonomi syariah adalah bidang perdata
yang secara sosiologis merupakan kebutuhan umat Islam”.[4]
Perluasan wewenang Pengadilan Agama setelah
diundangkannya Undang-undang No 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang
No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara lain meliputi ekonomi syariah.
Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan Pengadilan Agama
tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja,
melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Misalnya, lembaga keuangan
mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah,
obligasi dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan
syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis
syariah.
Perluasan kewenangan tersebut, tentunya menjadi
tantangan tersendiri bagi aparatur Peradilan Agama, terutama Hakim. Para Hakim
dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini
sesuai adagium ius curia novit (Hakim
dianggap mengetahui hukumnya), sehingga Hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak atau kurang jelas. Keniscayaan Hakim
untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai sebuah
pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh Hakim
harus dianggap benar (res judicata pro
veriate habetur). Sejalan dengan itu, setiap Hakim Pengadilan Agama dituntut
untuk lebih mendalami dan menguasai masalah-masalah perekonomian syariah.
Memang, para Hakim Pengadilan Agama telah
memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam. Namun karena selama ini, Pengadilan
Agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan perekonomian syariah, maka
wawasan yang dimiliki para Hakim Pengadilan Agama juga tentu masih terbatas.
Wawasan para Hakim Agama tentang perekonomian syariah, masih cukup jauh
dibandingkan dengan wawasannya mengenai masalah sengketa perkawinan, waris,
wasiat, hibah, waqaf dan shadaqah yang selama ini ditanganinya.
Paling tidak, ada beberapa hal penting dalam
konteks kewenangan Peradilan Agama berkenaan dengan kompetensi barunya untuk
menangani sengketa perekonomian syariah. Beberapa hal tersebut adalah sebagai
berikut: Pertama, para Hakim Pengadilan
Agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam
bingkai regulasi Indonesia dan aktualisi fiqh Islam.[5]
Kedua, para Hakim
Pengadilan Agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan
mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah,
reksadana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah,
sekuritas syariah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syariah, pegadaian
syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah.
Ketiga, para Hakim
Agama juga perlu meningkatkan wawasan hokum tentang prediksi terjadinya
sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Selain itu, perlu pula
peningkatan wawasan dasar hukum dalam peraturan dan perundang-undangan, juga
konsepsi dalam fiqh Islam.
Jadi, menurut UU Peradilan Agama yang baru, Pengadilan
Agama bisa meng-cover perkara perdata dan pidana. Tetapi tidak semua perkara
pidana bisa dicakup. Hal tersebut dapat dianalogikan dengan memberi contoh
penerapannya di Aceh. Bahwa Mahkamah Syar’iyah di sana dapat menyidangkan
perkara pidana, sepanjang yang sudah diatur di dalam Qonun, seperti halnya
masalah khamr (minuman keras), khalwat (berduaan bukan muhrim), atau maysir
(berjudi). Sedangkan untuk perkara pidana dalam dunia perbankan syariah, masih
belum ada pengaturan di dalam Qonun-nya. Itu berarti perkara pidana dalam dunia
perbankan syariah masih menjadi kewenangan Peradilan umum.
[6]
1.
Lahirnya Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.[7]
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 PP No. 14 tahun 1970 menentukan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 lingkungan Peradilan, yaitu;
1) Peradilan Umum
2) Peradilan Agama
3) Peradilan Militer
4) Peradilan Tata Usaha
Negara
Dalam Undang-undang ini dijelaskan bahwa tidak ada campur tangan
dari kekuasaan Negara yang lain. Tidak seperti sebelumnya pada Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1964.
Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku
bagi semua warga Negara RI tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah
memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Hukum Perkawinan orang Indonesia Asli
yang beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fikih. Menurut sistem hukum
Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam
kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan lahirnya Undang-undang ini maka wewenang Pengadilan Agama bertambah,
yaitu;
1) Izin seorang suami beristri lebih dari seorang
(Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974).
2) Dispensasi kawin
(Pasal 7 ayat 2).
3) Izin Kawin (Pasal 6
ayat 5).
4) Pencegahan
Perkawinan (Pasal 7 ayat 1).
5) Penolakan perkawinan
oleh petugas pencatatan perkawinan (Pasal 21 ayat 3).
6) Pembatalan Perkawinan
(Pasal 25).
7) Gugatan suami atau
isteri atas kelalaian pihak lainnya dalam menunaikan kewajiban masing-masing
(Pasal 34 ayat 3).
8) Penyaksian talak
(Pasal 39).
9) Gugatan Perceraian
(Pasal 49 ayat 1).
10) Hadlanah (Pasal41 sub
a).
11) Penentuan biaya penghidupan
bagi bekas isteri (pasal 41 sub c).
12) Penentuan biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak (pasal 41 sub b).
13) Penentuan sah tidaknya
anak atas dasar tuduhan zina oleh suami terhadap isterinya (Pasal 44 ayat 2).
14) Pencabutan kekuasaan
orangtua (Pasal 49 ayat 1).
15) Pencabutan kekuasaan
dan penunjukan wali (Pasal 53).
16) Pencabutan tentang
soal apakah penolakan untuk melakukan perkawinan campuran oleh pegawai pencatat
nikah (Pasal 60).
Dengan
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sejak tanggal 1
Oktober 1975 maka wewenang Peradilan Agama (untuk seluruh Indonesia) menjadi
bertambah luas. Kewenangan ini baik secara tegas disebutkan dalam pasalpasal
tertentu maupun secara implicit harus ditafsirkan termasuk wewenang Peradilan
Agama. Ketentuan tentang kewenangan ini
kemudian dikuatkandengan Instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam No. D/ Inst/ 117/ 1975 tanggal 12 Agustus 1975.[9]
Penerapan hukum Islam di Indonesia,
dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah.
Selain itu, dari aspek kemajemukan masyarakat bangsa, hukum yang berlaku juga
sebaiknya menganut sistem hukum nasional yang bersifat majemuk (pluralistic).. Secara
teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama
sekali kekuasaan negara. Indonesia bukannya sebuah negara Islam tetapi sebuah
negara nasional yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan
hukum Islam, tetapi juga pada umat-umat agama yang lain.
Hukum Islam menempati posisi sangat
strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tetapi bagi dunia Islam pada umumnya dan
sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia, untuk
dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem hukum nasional
diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para aparat penegak hukum
ataupun oleh masyarakat. Untuk itu munculah gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam
(bingkai sistem hukum nasional) untuk menjembatani penerapan hukum Islam di Indonesia.
Penerapan hukum Islam di Indonesia
masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde baru, polemik seputar
posisi syari’at Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua
pendekatan ekstrem. Di satu sisi, mereka yang menghendaki penerapan total
syari’at lewat jalur negara.[10]
Untuk mendeskripsikan polemik tentang
penerapan hukum Islam di Indonesia dalam bingkai hukum negara modern bisa
digambarkan dengan Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan. Penerapan
hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam). dalam perspektif etika politik dan
pemerintahan dilihat dari tiga aspek: Aspek Regulasi, Aspek Institusi
(organisasi)., dan Aspek Penegakan hukum (Law Enforcement)..
Penetapan kebijakan hukum di Indonesia,
pemerintahan telah menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional.
Tetapi persoalan kemudian muncul, yaitu bagaimana kita memahami serta
melaksanakan hukum Islam dalam konteks hukum nasional atau memasukkan hukum Islam
sebagai bagian dari hukum nasional. Permasalahan ini menyebabkan polarisasi
tentang proses legislasi hukum Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa
antara agama dan negara perlu ada pemishan secara tegas. Pendapat kedua, bahwa
hukum Islam menjadi bagian dari hukum nasional baik simbol maupun substansi[10][16]. Akhir-akhir ini yang kemudian
berhasil memunculkan UU tentang Perbankan Syari’ah.
Untuk melihat gambaran umum hukum Islam
sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan Kompilasi hukum Islam,
tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan
Landasan Fungsional.[11]
3.
Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam.
Ide
Kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang
tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi,
administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing,
sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh mahkamah Agung. Meskipun
undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di
lingkungan Peradilan Agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras
Keputusan Bersama (SKB). Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01,
02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983.
Keempat
SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang
tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi
peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan
Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif
(sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).. Sehinga sesuai dengan fungsi
Mahkamah Agung RI terhadap jalannya Peradilan di semua lingkungan Peradilan
Agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum
positif di Pengadilan Agama.
Landasan
yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam
dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat
itu selalu berkembang karena menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa
keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah,
istihsan, istishab, dan urf.
Kompilasi
Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan
kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah
fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih
sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih
Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum
masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum Islam.
Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk
terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional
di Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
“Peradilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam.Undang-Undang ini” (Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006). Hukum Islam
menempati posisi sangat strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tetapi
bagi dunia Islam pada
umumnya dan sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum
Indonesia, untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem
hukum nasional diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para
aparat penegak hukum ataupun oleh masyarakat.
Penerapan hukum Islam di Indonesia
masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde baru, polemik seputar
posisi syari’at Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua
pendekatan ekstrem.
Dengan
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sejak tanggal 1
Oktober 1975 maka wewenang Peradilan Agama (untuk seluruh Indonesia) menjadi
bertambah luas. Kewenangan ini baik secara tegas disebutkan dalam pasalpasal
tertentu maupun secara implicit harus ditafsirkan termasuk wewenang Peradilan
Agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Abdul
Gani , Pengantar Kompilasi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Islam Press, 1994.
http://languagecommunity.blogspot.com/2010/05/ringkasan-sejarahperadilan-islam-di.html di unduh pukul
08.18 WIB tgl 4/10/2013
Kamsi, Pemikiran Hukum Islam dan Peradilan Agama di
Indonesia, Yogyakarta: Cakrawala Media, 2008.
Rasyid, Roihan,
A, Hukum Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Shomad, Abd, Hukum Islam Panorama Prinsip Syari’ah dalam
Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010.
Tresna, R, Peradilan di Indonesia
dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan apakah kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia”, Liberty, Yogjakarta, 1983.
Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942 dan apakah kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia”, Liberty, Yogjakarta, 1983.
[2]
Roihan, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan
Agama, (Jakarta: Rajawali Press), 1992, cet. 2, hlm. 5-7
[3]
Abdul, Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Islam Press), 1994,
hlm. 65
[4]
Ibid,.
[5]
Sudikno,
Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan
Perundang-Undangannya Di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi
Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), 1983, hlm. 209.
[6]
Abd, Shomad, Hukum Islam Panorama Prinsip
Syari’ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2010, hlm.397.
[7] http://languagecommunity.blogspot.com/2010/05/ringkasan-sejarahperadilan-islam-di.html di unduh pukul 08.18 WIB tgl
4/10/2013
[8]
Ibid,.
[9]
Kamsi, Pemikiran Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Cakrawala Media), 2008, hlm.
177.
[10]
http://languagecommunity.blogspot.com/2010/05/ringkasan-sejarahPeradilan-Islam-di.html di unduh
pukul 08.18 WIB tanggal 4/10/2013.
[11]
Tresna, Peradilan di
Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta:
Pradnya Paramita), 1977, hlm. 128.
[12]
http://languagecommunity.blogspot.com/2010/05/ringkasan-sejarahPeradilan-Islam-di.html di unduh
pukul 08.18 WIB tanggal 4/10/2013.
[13]
Ibid,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar